KEWAJIBAN BERAMAL JAMA'I
Penulis: Jum'ah Amin Abdul Azis
Kitab: Ats-Tsawabit wal-Mutaghayyirat
Sepanjang masa, pada setiap umat, pasti selalu ada orang-orang shalih, para hamba yang zuhud, atau para da’i yang ikhlas. Bahkan pada bangsa seburuk apa pun, tidak mungkin kosong dari orang-orang yang apabila disebut nama Allah begetarlah hatinya, mengenal Allah dan memiliki akhlak terpuji.
Namun, dinamika sejarah dan pertumbuhan peradaban bukanlah ditinjau dari semata-mata keberadaan pribadi-pribadi yang memiliki akhlak seperti itu, betapapun tinggi keshalihan, ketakwaan, dan pemahaman mereka terhadap berbagai persoalan.Yang menjadi ukuran justru adanya harakah jama’iyyah (gerakan kolektif) dan keshalihan yang bersifat masif sehingga menjadi arus kuat lagi tangguh yang mempunyai pengaruh terhadap arus-arus lainnya dan bukannya terpengaruh.
Tidak ada maksud meremehkan arti amal fardi (kerja personal) dengan segala sifat terpuji yang dimilikinya. Namun, sesuai dengan kebenaran yang kita anut, adalah termasuk orang yang merugi jika seseorang yang ikhlas tidak berusaha untuk mengubah dakwahnya menjadi arus massal yang dihasung oleh orang-orang shalih seperti dirinya, yang berpegang teguh kepada tali Allah sehingga menjadi bagaikan satu hati, dalam satu jamaah.
وَالْعَصْرِ
{1}
إِنَّ
الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ {2}
إِلَّا
الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا
بِالصَّبْرِ {3}
“Demi masa. Sesungguhnya manusia ifu berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih dan saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran.”(QS. Al Ashr, 103: 1-3)
Nah, yang dikecualikan dari kerugian adalah jamaah yang saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran, dan bukannya individu, betapapun shalihnya.
Jika ada orang yang mengatakan, “Saya bisa memberlakukan Islam untuk diri saya. Saya tidak melakukan kezaliman, tidak berzina, tidak mabuk, tidak melakukan praktik riba, saya mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, melaksanakan haji, menunaikan segala kewajibanku yang bersifat personal, dan saya menyeru orang lain kepada hal-hal itu, dan kemudian saya berlalu.”
Kita katakan, “Itu bagus. Akan tetapi, orang yang melakukan hal itu persis seperti orang memilih batu-bata dengan sangat pandai, kemudian meningkatkan kualitasnya dengan dimulai dari diri sendiri, seraya mengajak orang lain untuk hal itu. Akankah kita menyebut batu-bata yang berserakan itu, betapapun masing-masingnya memiliki kualitas yang baik untuk sebuah bangunan, sebagai gedung bertingkat atau gedung pencakar langit, jika tidak pernah ditata dan satu sama lain saling menguatkan?”
Begitulah kondisi dakwah secara personal. Lalu bagaimana kita bisa mengaplikasikan sistern politik, sistern ekonomi, sistern sosial, sistern pendidikan, dan siapa yang menegakkan sanksi? Siapa yang menegakkan keadilan dan mencegah kezaliman? Siapa yang menegakkan hukum halal dan haram’? Siapa yang mengatur urusan sarana usaha? Siapa yang memimpin umat, menyebarkan dakwah, dan menghadapi serangan musuh? Dan seterusnya.
Jika kaum Muslimin tidak berusaha untuk mewujudkan itu semua dalam kehidupan nyata mereka dan merasa cukup dengan ibadah-ibadah ritual belaka, maka mereka akan terjerembab ke dalam perbenturan keyakinan, padahal mereka mendengar firman Allah:
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ
وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاء مَن يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنكُمْ إِلاَّ خِزْيٌ
فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ
الْعَذَابِ وَمَا اللّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ {85}
“Apakah kalian mengimani sebagian kitab dan menolak sebagian lain? Maka tiada balasan hagi orang yang melakukan hal itu selain kehinaan di dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka dicampakkan ke dalam siksa yang amat dahsyat. Dan Allah tidaklah lalai terhadap apa yang kalian kerjakan.” (Qs. Al Baqarah, 2: 85)
“Dan hati-hatilah terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang diturunkan oleh Allah kepadamu.” (Qs. Al Maaidah, 5: 49)
Jadi tidaklah cukup adanya individu-individu yang ikhlas dan tulus di sana sini, yang bekerja untuk Islam dalam keadaan tercecer. Walaupun tentu saja pekerjaan mereka bermanfaat dan menjadi tabungan kebaikan di sisi Allah. Sebab, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang bekerja baik laki-laki maupun perempuan. Dan setiap orang akan dibalas berdasarkan apa yang dia lakukan, sesuai dengan niat dan profesionalitasnya.
Akan tetapi, amal fardi, pada realitas umat kontemporer, tidak cukup kuat untuk mengisi pos-pos kosong dan mewujudkan tujuan yang dicita-citakan. Harus ada amal jama’i (kerja kolektif). Dan ini merupakan tuntutan agama sekaligus tuntutan realitas.
*---------
Sumber: