TEMBANG KASIH BUAT PEMBINA
(DARI SEBUAH CATATAN YANG TERCECER…)
(DARI SEBUAH CATATAN YANG TERCECER…)
Rindu hati ini telah menahan kelopak mataku yang akan terkatup, demi untuk menggoreskan mata pena tuaku yang setia menemani setiap jengkal tanah di persada Alloh ini dalam usahaku menjadi abdi ilahi.
Usiaku telah termakan waktu mengikuti perjalananku sebagai mad’u dalam binaanmu. Setiap kali silih berganti, dating dan pergi, selalu ada wajah baru mengikhlaskan diri berpredikat sebagai pembinaku. Ada perasaan sedih, bak bola aku terlempar kesana kemari, oper kanan dan kiri. Namun nuraniku tergugah untuk menghapus su’udzon itu dan menggantinya dengan cukup mengambila hikmah bahwa dengan begitu aku semakin mengerti sosok pembinaku satu persatu, fikrohnya, akhlaqnya, ghirohnya, dan lain-lainya, yang sempat tertangkap oleh mata zhohirku. Barangkali aku salah, tapi minimal inilah suara madh’u mu.
Duhai, betapa syukur tak pernah henti menyambut kehadiranmu. Apalagi ditengah galaunya kalbuku. Ketika aku masih mencari identitas diri, kau rekuh aku dalam nilai Islam lewat bibir manismu dan kaca mata minus yang setia bertenger diwajahmu menjadi cirri khas pribadimu. Kata-kata perjuangan yang agung, untaian mutiara kalimatulloh membumbung, menggetarkan nadi kehidupanku hingga aku mampu berdiri untuk menatap dunia sekitarku. Sungguh indah kau gambarkan sebuah pohon dihadapanku, sambil mengisyaratkan makna filosofinya.
“… Jadilah seperti pohon yang rindang, akarnya yang kokoh menghujam kebumi pertanda imannya kuat, selalu istiqomah. Daunnya yang lebat dapat dijadikan sebagai tempat berlindung, berteduh tatkala hujan dan panas, menunjukkan tamsil seorang pemimpin yang rakyatnya menarush rasa tsiqoh penuh terhadap kepemimpinannya, karena ia memegang teguh prinsip Islam. Buahnya yang ranum manis dan memiliki warna yang disukai banyak orang pertanda ia berakhlaq mulia, mampu menempatkan diri. Pohonnya yang tegak lurus mengumpamakan ia seorang yang adil, jujur. Cabangnya dan rantingnya yang banyak menunjukkan ia begitu kasih pada saudaranya sehingga membentuk jalinan ukhuwah dimana-mana. Semuanya ini diperoleh dari tanah yang subur dan memiliki zat-zat makanan yang dapat dihisap oleh akarnya tanpa tercemar apapun, inilah rezeki yang halalan thoyiban, pelajaran dan aktivitas yang baik memberikan bekas pada jasmani dan rohani… yang pada akhirnya kita muncul sebagai sosok mulia di sisi Alloh dan dimata sesame. Dan satu hal yang harus diingat bahwa seiring tingginya pohon itu ia pun harus siap diterpa badai. Sebaliknya jangan jadi pohon yang rendah, diinjak-injak orang, bahkaan kejatuhan kotoran hewan yang menjijikkan. Kemana angin bertiup kesana ia ikut dengan kebodohannya. Ke kanan mau, ke kiri pun oke …”
Ah…, betapa cerdasnya pembinaku. Wajar saja kalau teman-teman memanggulkan amanah tertinggi … sebagai Pembina!
Namun apa yang terjadi ketika ghirohku telah kutata, ketika ku ingin mengangkat izzah ummatku, aku dikejutkan oleh berita kisah “cinta segitigamu” diantara sesame Pembina. Hanya isukah ini atau berita yang sebenarnya? Astaghfirulloh… entahlah aku tak tahu lagi. Kemana kaki hendak ku tegakkan? Siapakah tempatku bercermin diri? Aku termangu menatap lesu gedung bisu tempat liqo’ku dengan satu harapan yang begitu lemah… aku tidak boleh bercermin pada masa lalu yang justru akan membuat kabur pandanganku untuk selangkah lebih maju.
Setelah itu masa berganti. Wajah baru pembinaku yang lain muncul dihadapanku…1…2…3… begitulah seterusnya lalu hilang ditelan waktu. Kini ganti lagi. Akupun punya semangat baru. Sosok Pembina yang pintar, enerjik, sering dinilai orang terlalu ekstrim, fanatic, itu bukan masalah buatku. Tegap dan tegar tubuhnya, keluasan dadanya menampung semua problematika yang ada tanpa kenal lelah. Kau ajarkan aku sebuah keindahan perjuangan. Kata demi kata kau rangkai dalam nuansa Islami, kurajut tali kasih demi tegaknya ukhuwah yang mawaddah wa rahmah. Lembaran putihku telah penuh kalimat-kalimat tausiyahmu, betapa semuanya menunjukkan kehanifanmu.
Namun ternyata catatan sejarah terulang lagi. Mataku terbelalak… sedih, benci, takut, kasihan atau bagaimana aku tak dapat melukiskannya, dengan tinta apapun aku tak mampu menuliskan itu semua. Aku tak tahu lagi… merah, kuning, biru, hijau, atau hitam pekatkah? Hatiku luluh, terpuruk dalam kebisuan tatkala sinar mataku menatapmu berdiri dihadapanku bersama sahabat karibku… yang katanya belajar bersama…berdua??? Pulang sekolah berdua juga, tanpa mahrom? Apakah mataku yang salah menatap sehingga perlu kaca pembesar untuk meyakinkan penglihatanku? Tidak cukupkah itu untuk membuat rasa tsiqohku gugur? Apalagi pujian-pujianmu tentangnya, patutkah telingaku mendengarkannya? Atau telingaku yang salah dengar?
Tidak!! Aku harus tinggalkan semua ini. Yah, kutelusuri kembali…sejengkal, dua jengkal belahan bumi ini, Dan aku tinggal sendiri, pergi meneruskan studi yang sempat tertunda, sambil berjuang sendiri menyusun keping-keping yang masih tersisa. Dan ternyata ….Subhanalloh… aku punya adik-adik rohis yang mengembang bak jamur dimusim hujan. Tapi aku memang harus siap dengan konsekuensi yang ada. Aku dianggap ekstrimis, fundamentalis…(huh, biarin aja, asal bukan anarkhis). Aku sadar bahwa setiap gerak-gerikku kamera mereka siap memotretnya. Aku sadar bahwa kaset rekaman mereka telah penuh dengan ucapanku lengkap dengan tanda titik dan komanya. Tapi aku lebih yankin bahwa Allah SWT punya kamera haq dimana tak selembar daun pun akan luput dari lensa-Nya… Alloh teguhkan aku dalam meniti jalan-Mu…
Hari terus bergulir atas izin-Nya… aku semakin merasa bahwa aku tidak bias sendiri dalam menapaki sebuah perjalanan yang tanpa bertabur bunga ini… Ya Alloh temukan aku pada hamba-hamba-Mu yang hanif, yang senantiasa punya ghiroh dan izzah untuk memperjuangkan Addiin-Mu.
Oh Alloh, subhanalloh, betapa airmataku telah bersimbah dalam sujudku yang penuh haru diatas bentangan sajadah ini, ketika KAU pertemukan aku pada Pembina baru yang telah lama kunanti dalam setiap detak waktu. Dulu dalam kesendirianku aku hanya ditemani tumpukan buku-buku berkisah tentang mar’atush sholihah, jundullaoh, qowam yang sholih, ghozwul fikri, dan sederetan judul buku yang bukan asal judul-judulan. Kini aku tidak lagi sekedar baca, baca, dan baca. Tapi aku melihat dengan nyata…sebuah keluarga muslim berkesan teduh yang menyejukkan, kesederhanaanmu telah membuatku tertunduk malu, kegigihan da’wahmu telah melunturkan kesombonganku, tebaran kasih sayangmu pada semua madh’u mengikis egoku hingga tumbuh tsiqohku padamu. Ku pasang kembali semangat 45 ku yang pernah berserakan dulu, kubunuh kefuturanku, kuraih kopelan-kopelan sejarah hidup, kuayun kaki dibawah nilai semesterku sempat di-dec oleh dosenku karena mendukung program-program dakwahmu. Kutata hati ini dalam dzikrulloh. Kuisi shof kosong dialur perjuanganmu. Sungguh! Sungguh banyak kemuliaanmu mengimbas pada diriku, wahai Pembina! Aku telah bertekad berada dibelakangmu mesiki prahara sempat menggoncang keluargaku. Ku ingin bersama dalam jihad fii sabilillah. Allohu Akbar…!!!
Ah…, masa-masa memang tidak selalu manis dan indah, engkaupun akhirnya pergi juga. Aku seakan kehilangan lentera. Satu persatu teman liqo’ku habis. Untunglah telah kau titipkan aku pada Pembina yang lain, (wah, Pembina baru lagi nich, gumamku dalam hati).
Deg! Aku tersentak kaget hingga membuatku benar-benar shock. Bagai anak ayam kehilangan induknya aku serba salah, bingung apa yang mesti diperbuat. Oh pembinaku, bagaimana mungkin aku menghadapimu yang ceplas-ceplosmu sulit ketemukan dalam kamus perliqo’an. Kemana akan kutumpahkan perasaanku yang tak menentu sementara engkau sendiri dalam menyelesaikan masalah temanku kau obok-obok di depan kami. Aku berdiri mematung sambil menutupi sebuah pergolakan jiwa yang menjadikanku bimbang untuk tetap mempertahankan diri dalam liqo atau …? Sungguh sayang, sayang sekali, sampai penghujung pertemuan kita barangkali engkau tidak tahu apa yang tersimpan pada hati setiap madh’umu hingga satu persatu mereka pergi tanpa kumengerti….
Sepeninggalmu aku kembali punya Pembina baru. Ku kira aku akan lebih damai. Semua ini mengantarkanku pada sebuah keberanian. Keberanian memasuki era keterbukaan pada Pembina. Kususun semua kisah sampai ke masalah pribadi segala. Tapi yang didapat justru sebaliknya aku seakan tak lagi punya nilai, aku begitu rendah, sebegitu kotorkah aku dalam pandanganmu? Ataukah ini hanya perasaanku saja? Kau pojokkan aku dalam puing-puing kehancuran yang hamper mati hingga langkah serba salah dimatamu.
Kini tanpa terasa waktupun bergulir, dan aku tidak bias mengelak dari apa yang disebut Pembina, sebab aku tidak mungkin melepaskan diri dari mereka. Dan sekarang akupun ditemukan lagi pada Pembina. Sejak saat ini aku mungkin tidak lagi bicara. Pergantian Pembina yang satu ke Pembina yang lain telah begitu banyak memberikan ibroh buatku. Bagaimanapun Pembina adalah para rijalud da’wah. Pembina adalah para manusia yang berada di salah satu titik dari sekian titik yang menghubungkan garis da’wah. Pembina adalah manusia biasa dengan segala sifat manusiawinya. Karena itu dibalik aibnya, tentulah ada kemuliannya. Disamping kekurangannya terselip kelebihannya, dan itulah nasehat berguna yang senantiasa kucamkan dalam hati. Aku tidak lagi memandang pembinaku sebagai makhluk super yang tidak pernah marah, yang tidak pernah mengghibah, selalu tampil bersahaj, ramah dan sopan dalam bertutur sapa, yang ghodul bashornya kuat, ibadahnya banyak, taat, khusyu’ dan tawadhu’, penampilan diri dan rumah selalu rapi, tidak ekslusif dalam bergaul dengan tetangga, mencintai lingkungan dari bunga-bunga sampai apotik hidup, anak-anak dan keluarga yang terbina dengan baik, dan sebagainya hayalan yang indah-indah. Aku tidak ingin lagi memandang Pembina seperti memandang bintang di langit hingga lupa rumput di bumi.
Dalam perenunganku yang cukup dalam, terkembanglah senyumku penuh arti. Engkau, aku dan kita semua adalah manusia, sesuai fithrohnya terkadang lengah dan khilaf. Dan kini aku belajar dan terus belajar untuk memahamimu apa adanya tanpa mengurangi rasa tsiqohku padamu. Kalau engkau bias memahamiku, kalau orang lain bias memahamiku, kenapa aku tidak?
Pembinaku, inilah catatan-catatanku yang tercecer, pengisi kisi-kisi hatiku yang berdebu. Tidak terlintas sedikitpun untuk menyepelekan keilmuan dan kepribadianmu, tiada maksud untuk membandingkanmu antar Pembina-pembina yang masuk dalam catatan sanubariku. Justru dari keterceceran semua catatan ini mneyadarkan aku untuk membuka kembali kekeliruanku dalam memandang seorang Pembina. Toh siapa tahu nanti giliranku akan menjadi Pembina, setahun, dua tahun, atau entah tahun kapan yang akan datang, sanggupkah aku mengemban amanah mulia ini? Aku tidak pernah tahu untuk menjawabnya. Profilmu merupakan pelajaran berharga bagiku, permata hati yang sulit terlupakan. Maka dalam kangenku padamu kutuliskan bait terindah dan kulantunkan tembang kasih untukmu…maafkan aku.
Mari, kusambut da’wahmu untuk mengishlah detik-detik kehidupanku, agar aku tidak pernah lupa menanam keikhlasan, meluaskan cakrawala, memupuk kesabaran, untuk meluruskan barisan ini hingga ia menjadi kokoh dan dapat melangkah bersama menyatukan hati dalam mencapai mardhotillah… Insya Alloh.
Dan … salam kasihku selalu buatmu Pembina yang bertebaran di belahan bumi manapun. Syukron atas semuanya. Semoga Alloh menerimanya sebagai catatan amal sholih yang berlimpah. Aamiin..
-------------------------------------------------------------
By : NS (Nurhayati –Baturaja –Sumsel)
Untuk orang-orang yang selalu ku kenang, selamat berjuang…!
Baturaja, 27 Februari 1999